Ada yang bilang
padaku,“ Bersahabat dekat dengan seseorang itu membutuhkan banyak pengertian,
waktu, dan rasa percaya. Dengan semakin dekatnya masa hidupku yang tidak pasti,
teman-temanku adalah hartaku yang paling berharga.”
Memangnya benar
ya seperti ini? Aku tidak terlalu peduli dengan ucapannya. Tapi, sepertinya aku
termakan oleh omonganku sendiri. Terlalu bodoh aku berpikir waktu itu. Aku
merasakan hal itu semua, ketika ku tlah banyak kehilangan temanku.
Aku tidak peduli
dengan mereka, ku tak menjaga pertemananku dengan mereka, dan ku terlalu sibuk
dengan duniaku. Ketika ku tahu ini semua telah terjadi, apa yang bisa ku
perbuat? Aku tak punya daya apa-apa. Aku
kehilangan mereka. Aku ingin memutar masa lalu. Kalau aku bisa, aku ingin
me-pause masa indah itu, walaupun tidak banyak masa indahku bersama temanku.
Ya, karena mungkin aku menganggap mereka orang lain, tak lebih dari itu, teman
pun tidak. Maka ketika ku temukan masa laluku saat ku bercanda dengan “teman”
ku, aku ingin me-pause-nya. Aku ingin menikmati bagian itu lebih lama.
Tak banyak
harapan untuk memperbaiki hal ini. Karena aku juga tidak tahu, apakah
teman-temanku peduli denganku? Ataukah mereka tidak peduli denganku, sama
halnya aku tidak peduli dengn mereka waktu itu? Hukum kausalitas ternyata
benar-benar ada.
Aku kini
terbaring diranjang putih. Ranjang ini begitu sempit untukku, karena tak
terbiasa dengan keadaan ini. Ranjang yang sebenarnya cukup menjadi terlalu
kecil. Ruangan ini terlalu sesak buatku. Sulit rasanya mencari oksigen di
tempat ini. Jarum suntik berulang kali ditusukkan ke lenganku. Hanya untuk
mencari denyut nadi dan memasukkan selang infuse ke lenganku. Sakit. Perih.
Sesak. Ganjal. Aku telah rasakan ini semua.
Sejak hari
pertama, sampai sekarang enam bulan lamanya, aku tak menjumpai banyak orang.
Enam bulan ini, aku hanya bertemu dengan dokter, suster, ayah, ibu, dan
kakakku. Ya, hanya lima orang itu saja yang aku jumpai. Sesekali juga kerabat
dari ayah atau ibu datang melihatku. Itupun tak setiap hari. Jadi, kupastikan
hanya lima orang saja yang terlihat oleh mataku.
Pernah ibuku
bertanya, “ Teman-temanmu apa tidak tahu keadaanmu, Han? Teman Kak Aden saja
menengokmu, masa temanmu tidak?” Dan aku hanya bisa menjawab dengan hembusan
napas. Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Enam bulan
setelah kecelakaan itu, satu semester pula aku tidak bertemu dengan temanku.
Satu semester, terlalu lama untukku. Teman. Kata yang sering ku dengar. Tapi,
asing dihatiku. Aku butuh mereka, dan aku menyadari itu. Kenapa aku sadar
setelah ku tahu mereka juga tidak peduli dengan kehadiranku?
Tak terasa
butiran air mata mengalir tanpa bisa ku kendalikan. “ Kenapa Raihan?” tanya
ibuku. Aku pegang tangan ibuku. Kuletakkan telapak tangan ibuku di pipi
kananku. Ku cium tangannya. Semakin tak terbendung air mataku. Ibu mencium
keningku. “ Semua akan baik-baik saja Raihan. Kamu hanya butuh keberanian untuk
meminta maaf dengan mereka.”
***
Pintu kamar
diketuk dari luar. Ibuku membukakan pintu. Aku tak tahu siapa yang datang.
Tapi, ibu tampak bicara dengan seseorang atau lebih tepatnya beberapa orang di
luar sana, aku tidak tahu pasti berapa. Dari gerak tubuhnya, ibu tampak senang,
saat dia membalikkan badan dan bilang, “ Raihan, lihat siapa yang datang?” dan
ibu mempersilakan mereka masuk.
Aku tak tahu
harus bagaimana saat ku lihat siapa yang datang. Aku tidak percaya dengan apa
yang ku lihat. Apakah aku sedang mimpi? Atau mataku yang salah lihat? Aku tahu,
bahwa saat ini aku sangat bahagia. Sangat sulit aku menggambarkan perasaan ini.
Mereka menemuiku, tersenyum padaku. Aku tak menyangka akan mendapat moment ini.
Tuhan, aku sangat berterimakasih padaMu.
“ Maaf ya Han,
kita baru bisa jenguk kamu sekarang. Pasti kamu kesepian di sini?” Andy, ketua
kelas memulai pembicaraan.
“ Gimana Han,
keadaanmu sekarang?” Bara bertanya kepadaku. Ku katakan kalau aku sudah bosan,
di ruangan yang serba putih ini. Aku bosan melakukan terapi untuk pemulihan
tulang kakiku karena kecelakaan. Aku juga bosan melihat botol infuse yang menggantung
di atas ranjangku.
“ Sebenarnya aku
sudah meminta untuk dirawat di rumah saja. Tapi gak tahu kenapa, dokter belum
mengijinkan aku beranjak dari ranjang pesakitan ini. Kayaknya ada yang
disembunyikan dariku. Ah, tak usahlah terlalu dipikir. Nikmati aja, ya gak?”
Dan pembicaraan ini serasa hangat kurasakan.
Saat aku tahu bahwa mereka juga rindu akan kehadiranku yang dingin dan acuh di
kelas.
“ Apa sikap
seperti itu yang membuat kalian merasa kehilanganku?” tanyaku.
“ Iya Han,
soalnya kamu itu langka. Hahaha.” Kata Mita. Dan disambut tawa oleh
teman-temanku yang lain. Aku larut dengan suasana ini, ternyata aku juga bisa
tertawa lepas dengan mereka. Hal yang tidak pernah aku lakukan selama dua tahun
aku bertemu dengan mereka.
“ Han, kita sudah
hampir menerima rapor kenaikan kelas tiga. Doakan ya Han, semoga kita semua
naik kelas.” Andy berkata dengan hati-hati. Mungkin takut menyinggungku. Teman
yang lain diam. Akupun diam. Aku tersenyum, dan kubilang “ Oke, I wish the best
for you, my friends.” Dan itu artinya aku telah benar-benar kehilangan mereka.
Aku harus mengulang satu tahun lagi di
kelas dua SMA.
" Han,
maafkan kita ya Han. Kita gak pernah menengokmu, sekali menengok, kita ngasih
kabar kayak gini.” Bara, temanku yang lain menimpali.
“ Kenapa harus
kalian yang meminta maaf. Aku yang harusnya minta maaf. Tidak peduli dengan
kalian. Menganggap kalian orang asing. Padahal akulah orang asing itu. Kalian
harus semangat untuk kelas tiga besok.”
“ How about you, Han?”
Jeane, bertanya kepadaku.
“ I will be ok.
Akan aku bayar waktu kelas dua ini setahun lagi. Mungkin aku akan menyusul
kalian lulus SMA, setelah kalian lulus duluan. Itu tidak sulit. Karena aku
hanya mengikuti jejak kalian yang ada di depanku. Hehehe.”
“ Ada-ada saja
kamu Han.” Dan seisi ruangan tertawa. Ini tawa yang kedua kali aku dengar.
Ku lihat sekelilingku. Teman-temanku masih
disini. Ibuku duduk melihatku. Ibu tersenyum. Ku balas senyum ibuku. Aku juga
melihat ayah dan kakakku baru datang. Kakakku yang baru kuliah dan ayah yang
baru pulang kerja terlihat capek. Kasihan mereka harus seperti ini setiap hari.
Ayah dan kakakku mendekatiku. Aku mencium tangan ayahku. Kakak, seperti biasa,
mengusap rambutku dan menarik hidungku. Ya, agak norak memang. Mungkin itu
ungkapan sayang kepadaku.
***
Abu-abu. Kenapa?
Adakah yang salah? Kenapa menjadi abu-abu ruangan ini? Mereka tak terlihat
jelas. Tapi di sana. Di sana ada ibuku. Aku ingin memanggilnya. Tapi aku tak
sanggup melakukannya. Aku hanya melambaikan tanganku yang lemah. Tak lama ibuku
datang. Semua orang panik. Dan ibuku menangis. Tak tampak jelas memang, tapi
aku bisa mendengarnya. Aku hanya bisa tersenyum. Aku bahagia, di saat seperti
ini, aku dapat merasakan kehadiran mereka semua. Ibu, ayah, kak Aden,
teman-temanku, walau tak semua teman kelasku di sini. Aku bahagia. Sangat
bahagia. Dan di saat dunia terlihat gelap, dan aku menutup mataku, aku masih
mendengar mereka menangis. Maaf. Kata itu yang terlewat, terutama untuk ibu.
Kartasura, 29 Mei
2013
O9:43 pm
Komentar
Posting Komentar