Langsung ke konten utama

Sejarah Polytron, Sebuah Industri Elektronik Terbesar Di Indonesia



Ini diambil waktu aku lagi browsing di internet. Iseng2 nyari sejarah polytron ( salah satu merk elktronik favorit aku, hehhe ). Ternyata dia salah satu produk dalam negeri yang berkelas. Tak disangka.... ternyata produk dalam negeri. Ini adalah artikel selengkapnya...

Sejarah  Polytron  dimulai pada tanggal 16 Mei 1975, saat pemilik pabrik rokok PT Djarum Kudus mendirikan perusahaan dengan nama PT Indonesia Electronic dan Engineering dengan penyertaan modal sebesar Rp. 50 juta untuk memproduksi barang elektronika.
Sebagai industri rokok yang berekspansi ke industri elektronika, sejak awal pemilik perusahaan tidak mau melibatkan pihak maupun modal asing. Sejak berdiri perusahaan ini tidak memiliki prinsipal sehingga tidak harus membayar royalti pada setiap produk yang dihasilkan.
Tahun 1977, perusahaan merekrut 14 perempuan lulusan SMEA dan SMA untuk dilatih menyolder dalam usaha merakit komponen menjadi rangkain produk elektronika. Didatangkanlah komponen-komponen elektronika dari Singapura sebagai bahan training 14 karyawan tersebut.
Setelah cukup belajarnya, pada tahun 1977 pabrik di Kudus ini mulai mendatangkan komponen dari Belgia untuk memulai proses alih teknologi dari Philips-MBLE Belgia.
Diluncurkanlah produk televisi pertama mereka dengan merek Polytron. Tapi televisi pertama mereka ini gagal di pasaran karena ukuran televisinya yang besar dan masih memerlukan kotak speaker sehingga tidak menarik pembeli yang ingin produk yang praktis.

Di sinilah pabrik ini mengalami kegagalan dalam pemasaran.Produk mereka ditolak oleh toko-toko elektronika bahkan sang dirut pernah diusir oleh toko kala menawarkan Polytron ini. Tapi menyadari bahwa mereka adalah pabrik rokok yang ingin menguasai industri elektronika, makanya mereka bersedia menjalani masa-masa sulit itu sebagai kesempatan untuk belajar.
Dari teknologi Eropa mereka beralih ke teknologi Hongkong. Dari komponen-komponen yang diimpor dari Hongkong mereka meluncurkan televisi hitam putih 20 inchi.
Saat itu pula mereka membuka lembaga riset dan pengembangan sendiri sehingga sejak itu mereka menjadi pabrik elektronika dengan desain produk yang diciptakan sendiri. Alih teknologi televisi juga didapat dari kerjasama mereka dengan perusahaan televisi Salora dari Finlandia (saat ini bernama Nokia).
Nama perusahaan kemudian berubah dari PT Indonesia Electronic dan Engineering menjadi PT Hartono Istana Electronics, dan di tahun 2000 berubah lagi menjadi PT Hartono Istana Teknologi.
Seiring dengan perubahan namanya, perusahaan ini sudah berhasil mengembangkan teknologi televisi berwarna hemat energi (40 Watt) dengan ukuran 17, 20 dan 26 Inchi.
Bahkan mereka mampu menghasilkan televisi dengan daya 20 watt saja, yang diklaim sebagai yang pertama di dunia. Sekarang, Polytron juga mulai mengekspor produknya walau harus merubah bendera supaya diterima pasar lokal Eropa.


Polytron dan Perjuangan Industri Nasional
MELIHAT atau mendengar merek Polytron, boleh jadi yang terbayangkan adalah produk elektronik dari luar negeri. Padahal, sesungguhnya Polytron lahir di Tanah Air, di Kudus, Jawa Tengah (Jateng), yang kemudian menembus pasar Eropa, ASEAN, Timur Tengah, dan Australia. Bahkan, Polytron bisa dikatakan kini tinggal satu-satunya produk nasional-tanpa prinsipal-yang masih bertahan, setelah melalui perjuangan panjang dan gelombang pasang surutnya industri elektronik nasional. Kompas/andi suruji Menurut yang punya merek, Polytron merupakan gabungan dua kata, yaitu poly yang berarti banyak, dan tron diambil dari kata elektronik. Jadi, Polytron diartikan sebagai kumpulan (banyak) elektronik. Barang elektronik, seperti produk audio, video, kulkas, mesin pengatur suhu udara (AC), dan pompa air merek Polytron sebenarnya lahir dari tangan putra-putri Indonesia di Kudus, Jateng, yang diakui pemiliknya kini menguasai 15 persen pangsa pasar produk elektronik nasional untuk produk sejenis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aurora: Gadis Kecil dari Surga

Waktu itu antara bulan Oktober November 2015 (lupa tepatnya kapan), aku diajak temen –mb Ana- nengokin anak temannya yang sedang sakit di RS Dr. Moewardi Solo. Anak yang sakit itu sebut saja namanya Aurora, dia berindikasi memiliki leukimia. Umurnya masih balita, kira-kira tiga tahun. Badannya kurus, karena dia sulit diajak makan. Hari Jum’at itu, yaitu hari di mana kita nengok ke sana dia sedang membutuhkan transfusi darah 5 kantong, dan yang ia butuhkan adalah golongan darah B. Di PMI kebetulan stoknya tidak ada. Sebenarnya golongan darah ayahnya Aurora sama, tetapi karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, ia tidak diperkenankan untuk mendonorkan darahnya. Lalu dengan segala usaha, orangtuanya mencari siapa kira-kira dermawan yang rela mendonorkan darahnya. Ayahnya menghubungi beberapa temennya, yang mungkin bisa membantu anaknya. Mungkin ada 2 atau 3 temannya yang sudah mendonorkan darah ke PMI. Tapi sayang, ketika itu setelah sholat Jum’at ayahnya menanyakan darah yang

Guide Me All The Way

Segala sesuatu yang kita miliki di dunia memang tidak ada yang abadi. Semuanya hanya sementara. " Not to take anything for granted, always try to remember it ." Apa yang kita punya dan kita miliki sekarang this all will be end . Harta, keluarga, and everything . Bekal apa yang akan kita bawa besok  ketika berhadapan dengan-Nya? Tak sepatutnya juga kita doubt His love. Because He never let us go astray. Apa yang akan kita persembahkan untuk-Nya?