Sungguh dulu aku tak suka baca novel. Dari
semua jenis buku bacaan, novel adalah salah satu yang aku hindari. Alasannya,
novel tidak sesederhana cerpen dan tak semenarik komik. Cerita dalam novel
lebih kompleks dan butuh waktu beberapa saat untuk menenggelamkan diri bersama
alur ceritanya. Tetapi novel, alur ceritanya akan berbekas sampai kapanpun dan
kita dapat retell walau hanya sekali baca. Itu terjadi padaku.
Aku masih ingat novel yang pertama kali ku
baca adalah Ayat-Ayat Cinta. Novel ini ku baca saat aku masih di sekolah
menengah. Awalnya aku tak tertarik dan ragu untuk membacanya. Tetapi karena
waktu itu sedang booming dan semua orang membacanya, jadi ku putuskan
untuk ikut membaca karya sastra satu ini. Dan perhatianku
terbawa oleh kisah antara Fahri, Aisyah, Maria, dan seluruh tokoh pendukung
dalam novel ini. Lewat novel ini, jujur aku baru mengetahui bagaimana kehidupan
di Mesir, bagaimana kehidupan di balik jeruji besinya, dan bagaimana hukum Indonesia
yang ternyata memang lemah di mata internasional.
Well, beberapa tahun kemudian, di tahun 2012,
sungguh puji syukur aku panjatkan, aku dan teman-teman tentunya, mendapatkan
kesempatan untuk bersua dengan penulis novel Ayat-Ayat Cinta, Habiburrahman
el-Shirazy. Ada suatu rasa kebanggaan tersendiri waktu itu, karena beberapa
tahun yang lalu telah ku baca karyanya dan kini bertemu mpunya. Sungguh tak ku
sangka.
Novel yang telah ku baca, entah itu karya
dari dalam maupun luar negeri, apresiasi terbesarku, ku berikan untuk Laskar
Pelangi, karya Andrea Hirata. Novel ini sedikit banyak telah mengubah pola pikirku ketika aku masih berada di sekolah menengah. Mungkin jika tak
kutemukan Laskar Pelangi, sekolah menengah mungkin tak kan ada artinya.
Di usia yang
sungguh sangat labil, aku masih mudah terpengaruh untuk mengikuti apa yang baru
saja aku baca. Ketika itu, sebelum aku berjumpa Laskar Pelangi, aku telah
membaca sebuah buku, bukan novel, tapi lebih kepada perjalan hidup seorang anak
menengah pertama yang memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya di tiga
bulan sebelum ujian nasional menengah pertama. Waktu itu entah kenapa aku mudah
terpengaruh kata-katanya. Dia bilang bahwa untuk apa sekolah terlalu tinggi
kalau akhirnya pekerjaan juga yang dicari. Bahasa sederhana yang bisa ku
tangkap ketika membaca tulisannya adalah apa gunanya aku sekolah dan untuk apa
aku menghabiskan waktu belajar di sekolah. Toh, belajar juga bisa di mana saja.
Mulai saat itu aku masih tetap ke sekolah dan mendengarkan apa yang guru
sabdakan. Ragaku ada di kelas tetapi tidak dengan pikiranku. Dia melayang entah
ke mana. Saat-saat itu adalah saat di mana aku tidak memiliki tujuan untuk apa
aku sekolah. Hal ini tentu berdampak dengan prestasi yang aku terima sebagai
balasan atas kebodohan karena terlalu menyepelekan “sekolah”. Mungkin aku telah
salah mengambil pelajaran dan hanya tertuju pada satu sudut pandang atas
kalimat-kalimat dalam buku itu. Harusnya, jika ku mau lebih jauh berpikir, maka
aku akan tidak mudah untuk mengikuti jejaknya, karena aku tak sehebat penulis
buku itu. Aku tak tahu harus berkata apa karena prestasiku menurun drastis.
Iya, aku menyesal.
Kemudian aku
berjumpa dengan Laskar Pelangi. Aku tidak tahu apa isinya, tetapi orang-orang begitu
menikmati karya Andrea Hirata yang satu ini. Tertariklah aku untuk ikut membaca
kisah sepuluh anak dari negeri Belitung. Dan iya, aku tersihir oleh kata-kata
Andrea Hirata. Aku begitu kagum oleh kecerdasan Lintang dan Mahar. Aku kagum
dengan ibu Muslimah. Aku kagum dengan persahabatan mereka. Aku kagum dengan
bagaimana perjuangan Lintang, si anak pesisir yang sangat cinta ilmu
pengetahuan dan semangat untuk sekolah, yang walau akhirnya dia harus pergi
meninggalkan teman-temannya. Dan aku kagum dengan bagaimana Andrea Hirata
menuturkan kisah mereka.
Di balik
kekagumanku kepada Laskar Pelangi, ada perasaan malu karena selama ini aku
menyia-nyiakan hidupku. Berbicara materi, aku yakin bahwa sebenarnya aku lebih
beruntung, karena aku tak perlu menikmati masa libur sekolah dengan bekerja.
Tidak seperti yang mereka lakukan. Berbicara fasilitas, aku yakin bahwa
fasilitas di sekolahku jauh lebih maju dibanding dengan sekolah mereka. Tapi,
apa yang telah kulakukan? Mimpi di siang bolong ketika semuanya sedang berjuang
untuk meraih mimpi. Aku bermimpi yang tak pasti.
Aku menangis
ketika pada akhirnya Lintang harus meninggalkan sekolah. Dia rela melakukan itu
semua, karena ayahnya meninggal dan dia menggantikan ayahnya sebagai tulang
punggung. Anak secerdas Lintang harus mengalami perjalanan hidup yang
sedemikian rumit. Ini bukan kemauannya, tapi garis takdir yang menjadikan dia
menjalani hidup seperti itu.
Lintang, di
novel ini ia mengajarkan beberapa cara belajar yang menyenangkan. Dia cerdas
tapi dia tak bakhil untuk berbagi ilmunya. Ia menggunakan metode
jembatan keledai untuk menghafal sesuatu. Metode ini sebenarnya telah kita
kenal, dan kita telah dikenalkan. Tetapi terkadang kita tidak mengetahui. Masih
ingat ketika kita mengenal warna-warna pelangi dengan ‘mejikuhibiniu’? Itu
adalah salah satu metode jembatan keledai agar mudah kita mengingat. Terkadang
guru kita saja yang tidak menyebut bahwa itu adalah jembatan keledai. Lintang
mengajarkan bagaimana belajar bahasa asing. Bahwa bahasa asing adalah soal
bagaimana kita memahami pola kalimat. Ketika kita sudah paham polanya, maka
kita akan dengan mudah mempelajarinya. PR nya, increase vocabularies.
Banyak
pelajaran yang dapat diambil dalam novel ini. Aku ikut merasa kagum dan bangga,
ketika karya Andrea ini banyak memberikan inspirasi, tak terkecuali kepadaku, digunakan
untuk bahan penelitian, dan diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa. Aku
sebagai penikmat tulisannya aku merasa sangat, sangat, dan sangat bangga. Karena
membaca Laskar Pelangi inilah aku merubah pola pikirku. Aku tidak harus menjadi
orang lain. Aku hanya perlu menjadi diriku dengan segala apa yang ingin aku
tuju. Aku pun merasakan dampaknya. Sebab di semester berikutnya, aku dapat
meraih prestasi yang jauh lebih baik. Aku bukan sedang membanggakan diri. Tapi,
aku hanya ingin berbagi bahwa pintarlah mengambil hikmah dari setiap membaca
apa yang kita baca.
Laskar Pelangi memang menginspirasi, terutama buat anak-anak sekolah. Andrea Hirata pandai sekali menarasikan kisah hidupnya ke dalam sebuah buku. Btw saya penasaran gimana kabar teman-teman Ikal sekarang, apalagi Lintang :D
BalasHapusiya sama :D
Hapuskalau di film nya, seingatku Lintang punya anak yg sama cerdasnya kaya' Lintang... :D