Sebenarnya
sie aku bukan orang yang suka sama sastra lama, karena bahasa yang dipake juga
masih bahasa jaman dulu banget.#ya iyalah ya. Bahasanya juga susah dipahami.
#maklum anak milenium, kurang paham ama bahasa jaman 30an. \\//. Tapi semua
berubah ketika kutemukan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka.
Sedikit
flash back. Waktu jaman SMA, ada satu temenku, panggil aja Un2, dia suka
banget ama Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Buku itu pemberian dari ayahnya,
dan dia mulai jatuh hati ama karya Buya satu itu. Dia cerita kalau buku itu
dibaca berulang2. Sampai sampul bukunya
pisah alias sobek, trus dia ganti ama sampul buku SIDU. Bukunya dia bawa ke
asrama, dan kita2 sebagai temennya gak tahu kalo itu ternyata adalah novel.
Kebetulan
juga dia bisa dikatakan maniak novel. Sama si sebenarnya ama aku. cuman dia
lebih getol gitu kalo urusan baca novel. Bayangin, laskar pelangi aja dibabat
abis dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, 1 jam fren. Singkat kan? Kalo
kalian yang jarang baca ato baca Cuma sekedar selingan mungkin kaget ampe mulut
ternganga. Tapi bagi orang yang mania baca, paling komennya , “Alah, sejam
doang. Kecil!”
Oke.
Jangan hiraukan mereka yang bilang, “Alah, sejam doang. Kecil!”. Karena, aku
sendiri juga belum bisa. #hadeuh... ketahuan dah,, haha. Jadi, one day aku
bilang ma dia kalo mo pinjem novel. Terus dia nyodorin Tenggelamnya Kapal Van
der Wijck. Seperti kebiasaan yang sudah2 sebelum baca buku aku pasti lihat
tahun kapan ni buku dibikin. Ternyata jaman 30an. Sudah hampir putus nafas ini
karena mungkin bahasanya agak lucu buat
dibaca masa sekarang. Dan benar saja belum ada satu paragraf kebaca, udah
melambaikan tangan duluan, gak kuat, gak paham bahasanya soalnya. Abis tu aku
langsung kembaliin ke dia. Dan jujur aja waktu itu aku bilang kalo aku gak bisa
baca bukunya, gak paham maksudnya. Dan kayaknya waktu itu dia kecewa. #Cuma
nebak ya. Soalnya mungkin dia pengen ada orang lain yang juga tahu ama karya
Buya yang begitu indah menuturkan kisah perjalanan hidup Zainuddin, sang tokoh
utama.
Abis
tu, some years later dan masih awal2 bulan tahun 2013, jadi kira-kira ada 3
tahun-an gitu, aku baca di berita online kalau Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck mau dibikin film. Seperti kebiasaan yang sudah2 juga, kalau ada
berita film yang diadaptasi dari sebuah novel, pasti aku pengin baca novelnya
dulu sebelum nonton filmnya. Alesannya sie pertama ada rasa penasaran, novel
yang dijadiin film itu menarikah? Baguskah? Sampai ada sutradara to produser
yang nglirik untuk bikin film dari novel itu. Kedua si buat pembanding aja.
Mana bagian dari novel yang diilangin, ato mana yang ditambahin. Ceritanya sama
pa gak. Alurnya gimana. Terus pesan yang disampaikan ma film tu sama pa gak ama
yang di novel. Terus satu lagi, lebih
greget mana antara novel ama filmnya.
Tahu
ada kabar itu, aku langsung kontak temenku. Dan dia juga ngerasa terkejut kalo
tu novel bakal difilmin. harapan dia si moga filmnya gak melenceng jauh dari
cerita novelnya. Aku Cuma iya-iya aja. You know lah, belum baca
novelnya. Abis tu, aku langsung hunting novel itu di Sriwedari, Solo. Dari
ujung kulon (barat) ampe hampir ujung wetan (timur) gak nemu-nemu juga. Dari penjual2 itu malah nawarin buku2
lain. “ Oh, karyanya Buya? Ada si mb tapi yang Di Bawah Lindungan Ka’bah.” “Maaf
bu, lagi gak minat,” jawabku.
Di
saat lagi capek2nya karena yang diburu tak kunjung dapet, datanglah suatu
bisikan, “Kalau punya kita gak ada, mungkin di kios pak Gunawan ada mb”. Itu
yang dikatakan ama penjual buku Sriwedari beberapa hari yang lalu sebelum aku
datang untuk buru Tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Berbekal itulah, aku menuju
kios pak Gunawan. Nyampe TKP langsung si mbak penjaganya aku introgasi, “Mb,
ada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck?”.
“Ada
mb, masih 3.” Thanks God. “Mo ambil berapa?” tanya mbaknya.
“Satu
aja mb.” Udah beli satu pake nawar pula. Hehe.
Abis
beli, terus pulang. Simple aja. Datang, tuntaskan, pulang. ^_^. Sambil jalan
pulang, aku masih mikir. “Ni jangan2 udah tak beli, gak jadi dibaca lagi
kaya sedia kala. Mubadzir donK.” Nyampe kos, pikiran tu masiiiihhhh aja di
depan kening kaya’ 5cm. “Woy minggir woy, aku mo baca ni...!!!”
Dengan
hati yang damai dan pikiran yang jernih, biar keduanya terang. Mulailah baca
novel ini. Paragraf pertama masih bingung, lanjut lagi, mulai menikmati, masih
mulai menikmati, menikmati, menikmati lagi, dan akhirnya hanyut oleh alur
cerita dan gak mau berhenti baca.
Buat
alur ceritanya aku gak mau cerita ya. Temen2 juga pasti tahu ama ceritanya,
lewat film atau novelnya. Ya 11-12 lah. ^_^ .
Bagi
aku, karya sastra lama itu bahasanya akan susah dimengerti kalau bacanya gak
dilanjutin. Karena lama-lama juga akan paham ama bahasa dan maksud ceritanya.
Yang bikin kagum dari karya Buya satu ini adalah penuturan bahasanya yang
halus. Belum pernah aku menjumpai novel yang penuturannya seindah Buya
berbahasa dalam novel. Dan ku rasa ini adalah novel terbaik yang pernah aku punya.
Dari
novel ini selain belajar tentang perbedaan budaya antara Minang dan daerah
lain khususnya Makassar (karena yang dicontohkan oleh Buya adalah Minang dan Makassar), kita juga diajak untuk bagaimana seharusnya kita menyikapi hidup. Selalu ada jalan yang diberikan Tuhan bagi hambanya yang mau berusaha untuk memperbaiki dirinya.
Satu kalimat untuk novel ini, "Aku tak menyesal memilikinya."
Waaahh pengen hanyut juga donk heheee, kayaknya cerita novel.a perlu saya jajal siapa tau bisa hanyut juga :)
BalasHapusselamat hanyut dan tenggelam bersama kisahnya, :D
BalasHapus