Seperti apa reaksi kita, ketika dihadapkan dengan masalah yang
begitu besar. Seperti wortelkah? Telurkah? Atau kopi? Ya. Menurut buku yang
ditulis oleh salah satu motivator ternama Indonesia, ketiga benda tersebut,
mempunyai filosofi tersendiri. Wortel, yang akan lembek ketika direbus. Telur
yang akan mengeras ketika direbus juga. Atau kopi yang akan menjadi harum
ketika dia sudah bercampur dengan air panas.
Masalah memang tak akan kunjung berhenti sampai nyawa terpisah
dengan raga. Masalah kita, anak muda, belum separah orang dewasa. Dan apa
masalah bagi pelajar? Ya. Kebanyakan dari kita mengeluh dengan soal-soal yang
memeras otak. Tak hanya ceritaku yang mengeluh dengan rumus, hafalan, dan
seabrek tugas. Tapi, kau tahu? Hampir semua cerita anak sekolah itu sama.
Seperti yang akan ku ceritakan kepada kalian. Ini bukan kisahku. Tapi kurasa,
aku dan kalian, juga pernah mengalami kisah seperti ini.
“Agh…!!! Apa-apaan ini? Mengapa begitu banyak huruf ‘x’ di sini?
Aku tak dapat melihat angka-angka yang mengejekku dan satu huruf menyebalkan
yaitu ‘x’!” Murua tampak stress dengan kelas matematika. Dia menelungkupkan
wajahnya di buku matematika.
“Helia,” Murua memanggil teman sebangkunya.
“Apa kau tak pusing mengerjakan soal logaritma ini? Kau tahu mataku
sudah berputar-putar, mungkin sekarang bentuknya sudah spiral, tidak bulat
lagi. Heuh, menyedihkan,” keluh Murua.
“Murua, kau ini terlalu berlebihan. Hahaha. Mana mungin angka-angka
itu mengejekmu. Hurufnya juga tidak cuma ‘x’, masih ada huruf l,o,g. Log. dan ku rasa matamu memang
bermasalah. Hahahaha,” Helia mengomentari kekesalan Murua.
“Ya Tuhan… Mengapa logaritma begitu sulit bagiku,” Murua masih
meratapi ketidaktahuannya.
“Itu tidak sulit. Kau hanya butuh banyak latihan. Ingat kata guru
matematika kita ‘ banyaklah berlatih supaya terampil’.” Helia menirukan gaya
gurunya.
Murua menatap temannya. ‘Heuh… Helia, matematika memang membuatku
mati muda. Apa kau tak memperhatikan kata ‘matematika’?” Murua menulis kata
‘matematika’ di buku catatannya.
“Helia, lihat ini.” Murua memperlihatkan buku catatannya kepada
Helia. “ Lihat dengan baik tulisan ini. mateMATIka. Memang benar-benar
membuatku mati.”
“Hahaha. Kau ini. Memang benar-benar berlebihan. Sudahlah. Kembali
berlatih saja.”
“Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku sudah berlatih, sampai
kepalaku seakan mau meledak. Ya Tuhan… Kenapa kau giring aku masuk ke jurusan
IPA yang sungguh mencabik-cabik otakku. Logaritma, integral… Apa gunanya ini
dikehidupanku yang akan datang.”
Helia yang mendengar itu hanya tersenyum saja. Tak memberi
komentar. Percuma juga memberi komentar, kalau Murua masih ngotot matematika
adalah sesuatu yang mematikan baginya.
“Helia, mengapa kau begitu menikmati matematika?” tanya Murua.
“Hey Murua. Tidak hanya Helia. Aku juga menikmati matematika.
Matematika membuat hidup lebih cool…” Nona memberi komentar.
“Ya ya ya. Nona memang makhluk sempurna. Bisa melakukan apa saja.
Bahkan kau menjadi murid paling pintar di sekolah ini. Selamat Nona, tak ada
yang menandingimu. Maukah kau menjadi Einstein atau Newton masa depan?”
“Apa kau sedang mengejekku, Murua?”
“Siapa yang mengejekmu. Aku berkata yang sesungguhnya. Jikalau kau
menjadi salah satu diantara mereka, betapa bahagianya aku mempunyai teman sepertimu.”
“ Tidak. Aku hanya ingin menjadi diriku. My own self.”
“Aku akan mendukungmu. Banzai!!!”
Nona tersenyum. Dia tahu, apa yang dikatakan Murua terkadang bukan
hanya sekedar basa basi. Dia ingin temannya menjadi sesuatu yang lebih. Tapi
dia juga berpikir, mengapa Murua tidak memotivasi dirinya agar dia lebih
semangat. Kalau begitu bukankah dia seperti lilin. Memberikan manfaat, tapi dia
sendiri hancur. Nona melanjutkan mengerjakan soal latihan.
“Nona,” panggil Murua.
“Ya,” jawab Nona.
“Nona, apa kau tahu? Namamu memang sempurna. Dalam kimia, Nona
berarti sembilan. Selain itu Nona adalah
wanita muda. Lupakan saja soal wanita muda. Sembilan Nona! Kau tidak sadar?
Sempurna!”
“Bagaimana kau berpikir sampai sejauh itu. Aku saja yang punya nama
tak terpikirkan kalau itu adalah sembilan.”
“Itulah gunanya kau memiliki teman yang tak terlalu pintar
sepertiku. Aku memikirkan apa yang tak orang lain pikirkan. Hehehe. Jadi, sudah
saatnya saya bilang, sempurna,” gayanya menirukan Demian Sang Ilusionis.
“Kalau begitu, seharusnya kau juga pintar. Karena kau memikirkan
apa yang tak terpikirkan.”
“Benarkah? Ah, kau jangan berlebihan.”
“Lihatlah Nona. Jangan memuji Murua seperti itu. Dia akan terbang
dan aku tidak dapat menangkapnya. Kalau jatuh, aku juga yang kena.” Komentar
Helia.
“Hei Helia. Aku tak seperti itu. Harusnya yang dapat mudah terbang
itu dirimu.”
“Kenapa? Apa karena aku kurus bagaikan lidi? Kau ini benar-benar...”
“Jangan merendahkan dirimu. Helia. Mungkin namamu diambil dari
salah satu gas mulia.”
“Maksudmu? Tak ada gas mulia helia. Jadi jangan mengada-ada.”
“Heuh… Sudah aku bilang, aku dapat berpikir apa yang tak dapat kau
pikir. Lihat ini.” Murua memperlihatkan tabel unsur periodik.
“Lihat, ini periode 1 golongan 8A, helium. Karena mengalami
transformasi maka ayahmu memberi nama Helia. Akan aneh jika namamu Helium.
Kalau Helia, itu akan terasa manis kedengarannya. Jadi mungkin ayahmu ingin kau
menjadi orang yang sangat berguna. Walaupun melihat tampilan fisikmu kau
terlihat tak berdaya, karena badan kurusmu. Bukan maksudku mengejekmu.
Berkacalah kepada helium, dia ringan, tapi bisa membuat orang keliling dunia.
Ingat balon udara.”
“Wah… Kau memang jenius!” Helia memeluk sahabatnya. “Aku juga tak
terpikirkan masalah ini. Nona!” Helia memanggil Nona. Nona membalikkan
badannya.
“Kenapa?”
“Sepertinya akan ada saingannya Shakespare. Ini nih, si Murua. Bagi
dia nama itu berarti. Bagi Shakespare apalah arti sebuah nama. Jadi memang Shakespare
itu idiot, seperti yang Raditya Dika bilang.”
“Bener banget. Terus apa arti Murua?” tanya Nona.
“Murua? Murua? Murua?” Murua tampak berpikir. Kedua temannya
melihat dia yang sedang serius berpikir. Murua melihat tabel periodik yang ada
di depannya.
“Ah! Aku tahu!”
“Apa?” kedua temennya bertanya serempak.
“ Murua, kebalikan dari aurum. Unsur Au untuk emas. Golongan 1B
periode 6. Aku juga tak terpikirkan tentang ini. Ternyata ayahku membuat teka-teki
yang harusnya mudah ditebak.”
“Benarkah apa yang kau katakan?” tanya Nona. “Kalau begitu,
harusnya kau juga lebih berharga dari hanya sekedar emas. Emas kalau tak
menampakkan dirinya, orang juga tidak akan tahu dan sadar. Pendulang emas juga
begitu. Dalam tambang emas sebenarnya banyak sekali emas tersimpan. Tapi
terkadang sedikit sekali yang didapat. Kurasa bukan hanya sekedar sulit mencari
emas, tapi karena emas-emas itu yang tidak mau menampakkan diri.”
“Nona, apa emas punya perasaan sepeti itu?’ tanya Murua.
“Kalau kau yang jadi emas, pastinya kau punya perasaan seperti itu.
Sekarang kau tahu, bahwa emas itu adalah kau. Kau yang punya nama itu. Apa kau
masih menyia-nyiakannya atau memanfaatkannya? It’s depend on you.”
Murua terdiam. Baru kali ini ada seseorang yang menyadarkannya.
Nona kembali mengerjakan soal. Helia masih tertegun dengan apa yang Nona katakan.
Bahkan dia sebagai teman dekat Murua tak pernah terlintas akan hal ini.
‘Lalu, apa yang harus aku lakukan.’ Batin Murua. “Helia, jika kau jadi diriku apa yang akan kau
lakukan? Aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali melamun di kelas.”
“Murua, kau hanya butuh memotivasi diri agar dapat melakukan lebih
dari ini. Kau ingat going to extra mile , berjalan di atas rata-rata,
kata novel yang kau baca kemarin kan seperti itu.”
“Benar juga apa yang kau katakan. Hehehe. Aku jadi mengganggumu
mengerjakan matematika.”
“Heuh… Bukankah itu sudah kebiasaanmu? Dan bukankah juga kau harus
melakukan hal yang sama denganku, mengerjakan soal ini juga?” Helia menunjuk ke
halaman soal.
“Should I do it?”
“Heuh,., Going to extra mile.”
“Ok. Hukum 1 Newton, ‘setiap benda tetap berada dalam keadaan diam
atau bergerak dengan laju tetap sepanjang garis lurus, selama tidak ada gaya
yang bekerja pada benda tersebut atau tidak ada gaya total pada benda tersebut’.
Apakah aku seperti itu?”
“Menurutmu?” Kenapa matematika bisa menjadi kimia atau fisika
jika aku bersama Murua. Benar-benar ajaib ni anak. Batin Helia.
“Ok, waktu habis. Bapak akan menunjuk salah satu dari kalian untuk
menjawab soal di depan,” kata pak Isa, guru matematika.
Tolong jangan tunjuk aku. Please, please, please. Mohon Murua dalam hati. Tapi, manusia mana yang bisa dengar hati
seseorang.
“Murua, ” panggil pak Isa. “Tolong kerjakan di depan. Biar
teman-temanmu juga tahu jawaban yang benar.”
“Bagaimana ini? Belum satu soalpun aku jawab,” Murua tampak panik.
“Kalau pusing dengan huruf ‘x’, kerjakan saja soal nomor lima,
hurufnya ‘a’ dan ‘b’. Hehehe,” timpal Helia.
“Kau ini. Benar-benar sedang meremehkanku. Ok. This is the time
for you, Murua. Fighting!” Murua menyemangati dirinya.”Saya
ngerjakan nomor lima ya Pak.”
“Ok, kenapa tidak,” kata pak Isa.
Murua mengambil spidol dan mulai mengerjakan jawabannya.
2log5=a, 2log7=b,
maka nilai 35log80=…. Begitulah soal yang akan dikerjakan Murua.
Murua menelan ludah. Dia gugup mengerjakan soal nomor lima. Baru pertama kali
ini dia mengerjakan di depan teman-temannya. “Aku bisa.” Tapi, dia tidak
menggerakkan spidolnya sama sekali. Dia berdiri kaku sambil memandangi soal
yang ada di depannya. Dia memejamkan mata, dan “ Maaf pak, saya belum bisa”.
Dia mengakui kelemahannya.
Dia kembali duduk di
kursinya. Soal yang ditulis Muruapun dikerjakan oleh teman sekelas lainnya. Dia
baru sadar bahwa suatu masalah yang dikeluhkan tak akan selesai, tanpa dia
mencari solusinya.
“Helia, aku belum bisa. Aku belum maksimal.”
“Gak apa-apa Murua. Segala sesuatunya memang harus melalui proses.
Sukses itu kan gak semudah membalikkan telapak tangan. Murua,”
“Iya Helia.”
“Temukan kilauan emas dalam dirimu, haha.”
“Kayak iklan aja kamu Hel. Tapi, okelah. Aku akan berusaha.”
Komentar
Posting Komentar