Langsung ke konten utama

MURUA

Seperti apa reaksi kita, ketika dihadapkan dengan masalah yang begitu besar. Seperti wortelkah? Telurkah? Atau kopi? Ya. Menurut buku yang ditulis oleh salah satu motivator ternama Indonesia, ketiga benda tersebut, mempunyai filosofi tersendiri. Wortel, yang akan lembek ketika direbus. Telur yang akan mengeras ketika direbus juga. Atau kopi yang akan menjadi harum ketika dia sudah bercampur dengan air panas.

Masalah memang tak akan kunjung berhenti sampai nyawa terpisah dengan raga. Masalah kita, anak muda, belum separah orang dewasa. Dan apa masalah bagi pelajar? Ya. Kebanyakan dari kita mengeluh dengan soal-soal yang memeras otak. Tak hanya ceritaku yang mengeluh dengan rumus, hafalan, dan seabrek tugas. Tapi, kau tahu? Hampir semua cerita anak sekolah itu sama. Seperti yang akan ku ceritakan kepada kalian. Ini bukan kisahku. Tapi kurasa, aku dan kalian, juga pernah mengalami kisah seperti ini.

***
“Agh…!!! Apa-apaan ini? Mengapa begitu banyak huruf ‘x’ di sini? Aku tak dapat melihat angka-angka yang mengejekku dan satu huruf menyebalkan yaitu ‘x’!” Murua tampak stress dengan kelas matematika. Dia menelungkupkan wajahnya di buku matematika.

“Helia,” Murua memanggil teman sebangkunya.

“Apa kau tak pusing mengerjakan soal logaritma ini? Kau tahu mataku sudah berputar-putar, mungkin sekarang bentuknya sudah spiral, tidak bulat lagi. Heuh, menyedihkan,” keluh Murua.

“Murua, kau ini terlalu berlebihan. Hahaha. Mana mungin angka-angka itu mengejekmu. Hurufnya juga tidak cuma ‘x’, masih ada huruf  l,o,g. Log. dan ku rasa matamu memang bermasalah. Hahahaha,” Helia mengomentari kekesalan Murua.
“Ya Tuhan… Mengapa logaritma begitu sulit bagiku,” Murua masih meratapi ketidaktahuannya.

“Itu tidak sulit. Kau hanya butuh banyak latihan. Ingat kata guru matematika kita ‘ banyaklah berlatih supaya terampil’.” Helia menirukan gaya gurunya.

Murua menatap temannya. ‘Heuh… Helia, matematika memang membuatku mati muda. Apa kau tak memperhatikan kata ‘matematika’?” Murua menulis kata ‘matematika’ di buku catatannya.

“Helia, lihat ini.” Murua memperlihatkan buku catatannya kepada Helia. “ Lihat dengan baik tulisan ini. mateMATIka. Memang benar-benar membuatku mati.”  


“Hahaha. Kau ini. Memang benar-benar berlebihan. Sudahlah. Kembali berlatih saja.”

“Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku sudah berlatih, sampai kepalaku seakan mau meledak. Ya Tuhan… Kenapa kau giring aku masuk ke jurusan IPA yang sungguh mencabik-cabik otakku. Logaritma, integral… Apa gunanya ini dikehidupanku yang akan datang.”

Helia yang mendengar itu hanya tersenyum saja. Tak memberi komentar. Percuma juga memberi komentar, kalau Murua masih ngotot matematika adalah sesuatu yang mematikan baginya.

“Helia, mengapa kau begitu menikmati matematika?” tanya Murua.

“Hey Murua. Tidak hanya Helia. Aku juga menikmati matematika. Matematika membuat hidup lebih cool…” Nona memberi komentar.

“Ya ya ya. Nona memang makhluk sempurna. Bisa melakukan apa saja. Bahkan kau menjadi murid paling pintar di sekolah ini. Selamat Nona, tak ada yang menandingimu. Maukah kau menjadi Einstein atau Newton masa depan?”

“Apa kau sedang mengejekku, Murua?”

“Siapa yang mengejekmu. Aku berkata yang sesungguhnya. Jikalau kau menjadi salah satu diantara mereka, betapa bahagianya aku mempunyai teman sepertimu.”

“ Tidak. Aku hanya ingin menjadi diriku. My own self.”

“Aku akan mendukungmu. Banzai!!!”

Nona tersenyum. Dia tahu, apa yang dikatakan Murua terkadang bukan hanya sekedar basa basi. Dia ingin temannya menjadi sesuatu yang lebih. Tapi dia juga berpikir, mengapa Murua tidak memotivasi dirinya agar dia lebih semangat. Kalau begitu bukankah dia seperti lilin. Memberikan manfaat, tapi dia sendiri hancur. Nona melanjutkan mengerjakan soal latihan.

“Nona,” panggil Murua.

“Ya,” jawab Nona.

“Nona, apa kau tahu? Namamu memang sempurna. Dalam kimia, Nona berarti sembilan. Selain itu  Nona adalah wanita muda. Lupakan saja soal wanita muda. Sembilan Nona! Kau tidak sadar? Sempurna!”

“Bagaimana kau berpikir sampai sejauh itu. Aku saja yang punya nama tak terpikirkan kalau itu adalah sembilan.”

“Itulah gunanya kau memiliki teman yang tak terlalu pintar sepertiku. Aku memikirkan apa yang tak orang lain pikirkan. Hehehe. Jadi, sudah saatnya saya bilang, sempurna,” gayanya menirukan Demian Sang Ilusionis.

“Kalau begitu, seharusnya kau juga pintar. Karena kau memikirkan apa yang tak terpikirkan.”

“Benarkah? Ah, kau jangan berlebihan.”

“Lihatlah Nona. Jangan memuji Murua seperti itu. Dia akan terbang dan aku tidak dapat menangkapnya. Kalau jatuh, aku juga yang kena.” Komentar Helia.

“Hei Helia. Aku tak seperti itu. Harusnya yang dapat mudah terbang itu dirimu.”

“Kenapa? Apa karena aku kurus bagaikan lidi? Kau ini benar-benar...”

“Jangan merendahkan dirimu. Helia. Mungkin namamu diambil dari salah satu gas mulia.”

“Maksudmu? Tak ada gas mulia helia. Jadi jangan mengada-ada.”

“Heuh… Sudah aku bilang, aku dapat berpikir apa yang tak dapat kau pikir. Lihat ini.” Murua memperlihatkan tabel unsur periodik.

“Lihat, ini periode 1 golongan 8A, helium. Karena mengalami transformasi maka ayahmu memberi nama Helia. Akan aneh jika namamu Helium. Kalau Helia, itu akan terasa manis kedengarannya. Jadi mungkin ayahmu ingin kau menjadi orang yang sangat berguna. Walaupun melihat tampilan fisikmu kau terlihat tak berdaya, karena badan kurusmu. Bukan maksudku mengejekmu. Berkacalah kepada helium, dia ringan, tapi bisa membuat orang keliling dunia. Ingat balon udara.” 


“Wah… Kau memang jenius!” Helia memeluk sahabatnya. “Aku juga tak terpikirkan masalah ini. Nona!” Helia memanggil Nona. Nona membalikkan badannya.

“Kenapa?”

“Sepertinya akan ada saingannya Shakespare. Ini nih, si Murua. Bagi dia nama itu berarti. Bagi Shakespare apalah arti sebuah nama. Jadi memang Shakespare itu idiot, seperti yang Raditya Dika bilang.”

“Bener banget. Terus apa arti Murua?” tanya Nona.

“Murua? Murua? Murua?” Murua tampak berpikir. Kedua temannya melihat dia yang sedang serius berpikir. Murua melihat tabel periodik yang ada di depannya.

“Ah! Aku tahu!”

“Apa?” kedua temennya bertanya serempak.

“ Murua, kebalikan dari aurum. Unsur Au untuk emas. Golongan 1B periode 6. Aku juga tak terpikirkan tentang ini. Ternyata ayahku membuat teka-teki yang harusnya mudah ditebak.”

“Benarkah apa yang kau katakan?” tanya Nona. “Kalau begitu, harusnya kau juga lebih berharga dari hanya sekedar emas. Emas kalau tak menampakkan dirinya, orang juga tidak akan tahu dan sadar. Pendulang emas juga begitu. Dalam tambang emas sebenarnya banyak sekali emas tersimpan. Tapi terkadang sedikit sekali yang didapat. Kurasa bukan hanya sekedar sulit mencari emas, tapi karena emas-emas itu yang tidak mau menampakkan diri.”

“Nona, apa emas punya perasaan sepeti itu?’ tanya Murua.

“Kalau kau yang jadi emas, pastinya kau punya perasaan seperti itu. Sekarang kau tahu, bahwa emas itu adalah kau. Kau yang punya nama itu. Apa kau masih menyia-nyiakannya atau memanfaatkannya? It’s depend on you.”

Murua terdiam. Baru kali ini ada seseorang yang menyadarkannya. Nona kembali mengerjakan soal. Helia masih tertegun dengan apa yang Nona katakan. Bahkan dia sebagai teman dekat Murua tak pernah terlintas akan hal ini.

‘Lalu, apa yang harus aku lakukan.’ Batin Murua. “Helia, jika kau jadi diriku apa yang akan kau lakukan? Aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali melamun di kelas.”

“Murua, kau hanya butuh memotivasi diri agar dapat melakukan lebih dari ini. Kau ingat going to extra mile , berjalan di atas rata-rata, kata novel yang kau baca kemarin kan seperti itu.”

“Benar juga apa yang kau katakan. Hehehe. Aku jadi mengganggumu mengerjakan matematika.”

“Heuh… Bukankah itu sudah kebiasaanmu? Dan bukankah juga kau harus melakukan hal yang sama denganku, mengerjakan soal ini juga?” Helia menunjuk ke halaman soal.

Should I do it?”

“Heuh,., Going to extra mile.”

“Ok. Hukum 1 Newton, ‘setiap benda tetap berada dalam keadaan diam atau bergerak dengan laju tetap sepanjang garis lurus, selama tidak ada gaya yang bekerja pada benda tersebut atau tidak ada gaya total pada benda tersebut’. Apakah aku seperti itu?”

“Menurutmu?” Kenapa matematika bisa menjadi kimia atau fisika jika aku bersama Murua. Benar-benar ajaib ni anak. Batin Helia.

“Ok, waktu habis. Bapak akan menunjuk salah satu dari kalian untuk menjawab soal di depan,” kata pak Isa, guru matematika.

Tolong jangan tunjuk aku. Please, please, please. Mohon Murua dalam hati. Tapi, manusia mana yang bisa dengar hati seseorang.

“Murua, ” panggil pak Isa. “Tolong kerjakan di depan. Biar teman-temanmu juga tahu jawaban yang benar.”

“Bagaimana ini? Belum satu soalpun  aku jawab,” Murua tampak panik.

“Kalau pusing dengan huruf ‘x’, kerjakan saja soal nomor lima, hurufnya ‘a’ dan ‘b’. Hehehe,” timpal Helia.

“Kau ini. Benar-benar sedang meremehkanku. Ok. This is the time for you, Murua. Fighting!” Murua menyemangati dirinya.”Saya ngerjakan nomor lima ya Pak.”

“Ok, kenapa tidak,” kata pak Isa.

Murua mengambil spidol dan mulai mengerjakan jawabannya.

2log5=a, 2log7=b, maka nilai 35log80=…. Begitulah soal yang akan dikerjakan Murua. Murua menelan ludah. Dia gugup mengerjakan soal nomor lima. Baru pertama kali ini dia mengerjakan di depan teman-temannya. “Aku bisa.” Tapi, dia tidak menggerakkan spidolnya sama sekali. Dia berdiri kaku sambil memandangi soal yang ada di depannya. Dia memejamkan mata, dan “ Maaf pak, saya belum bisa”. Dia mengakui kelemahannya.

 Dia kembali duduk di kursinya. Soal yang ditulis Muruapun dikerjakan oleh teman sekelas lainnya. Dia baru sadar bahwa suatu masalah yang dikeluhkan tak akan selesai, tanpa dia mencari solusinya.

“Helia, aku belum bisa. Aku belum maksimal.”

“Gak apa-apa Murua. Segala sesuatunya memang harus melalui proses. Sukses itu kan gak semudah membalikkan telapak tangan. Murua,”

“Iya Helia.”

“Temukan kilauan emas dalam dirimu, haha.”

“Kayak iklan aja kamu Hel. Tapi, okelah. Aku akan berusaha.”





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aurora: Gadis Kecil dari Surga

Waktu itu antara bulan Oktober November 2015 (lupa tepatnya kapan), aku diajak temen –mb Ana- nengokin anak temannya yang sedang sakit di RS Dr. Moewardi Solo. Anak yang sakit itu sebut saja namanya Aurora, dia berindikasi memiliki leukimia. Umurnya masih balita, kira-kira tiga tahun. Badannya kurus, karena dia sulit diajak makan. Hari Jum’at itu, yaitu hari di mana kita nengok ke sana dia sedang membutuhkan transfusi darah 5 kantong, dan yang ia butuhkan adalah golongan darah B. Di PMI kebetulan stoknya tidak ada. Sebenarnya golongan darah ayahnya Aurora sama, tetapi karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, ia tidak diperkenankan untuk mendonorkan darahnya. Lalu dengan segala usaha, orangtuanya mencari siapa kira-kira dermawan yang rela mendonorkan darahnya. Ayahnya menghubungi beberapa temennya, yang mungkin bisa membantu anaknya. Mungkin ada 2 atau 3 temannya yang sudah mendonorkan darah ke PMI. Tapi sayang, ketika itu setelah sholat Jum’at ayahnya menanyakan darah yang

Guide Me All The Way

Segala sesuatu yang kita miliki di dunia memang tidak ada yang abadi. Semuanya hanya sementara. " Not to take anything for granted, always try to remember it ." Apa yang kita punya dan kita miliki sekarang this all will be end . Harta, keluarga, and everything . Bekal apa yang akan kita bawa besok  ketika berhadapan dengan-Nya? Tak sepatutnya juga kita doubt His love. Because He never let us go astray. Apa yang akan kita persembahkan untuk-Nya?