***
Aku ingat waktu itu, di kantin sekolah.
Seperti biasa, aku, Wina, dan Gilang makan bareng saat istirahat pertama. Kita
juga suka ngobrolin banyak hal. Mulai dari harga sembako yang mulai naik,
pejabat yang korup, buku yang habis kita baca, sampai kehisteriaan kita ada
orang Indonesia yang ikut main film Hollywood. Sampai obrolan yang sepele.
Kayak kenapa setiap sekolah harus ada tiang benderanya, kenapa foto presiden
dan wakilnya harus narsis nampang di depan kelas. Dan seperti obrolan pagi itu,
obrolan yang sepele. Bayangkan, sepanjang istirahat kita ngobrolin tentang bel.
Apa gitu istimewanya dari bel?
Dan pembicaraan dimulai ketika aku bilang,
”Gila ya, hidup di sekolah itu bagai robot tahu gak? Hampir 12 tahun sekolah,
masa kita diperintah sama bel… terus. Heran, kenapa kita mau-mau aja?”
“Ok, kita memang bukan makhluk sempurna dan
bukan penganut madzhab on time. Jadi bel adalah satu-satunya solusi agar
kita dapat melakukan segalanya tepat waktu,” kata Wina.
“Heuh… ngomong apa kamu Win. Gara-gara bel
sialan itu, aku jadi harus berangkat pagi-pagi. Telat dikit aja gerbang
ditutup. Telat masuk kelas dihukum. Emang bener-bener sialan tu bel,” kataku
yang emang gak suka dengan makhluk yang disebut bel.
“Berarti bener apa kata Wina. Bel itu tanda
kalau kita emang gak pernah on time. Nyatanya kalau gak ada bel kamu
pasti akan telat terus sepanjang karier sekolahmu. Bel itu bagaikan sang dewa
dari langit yang membisikkan ke telinga setiap insan untuk melakukan kebaikan.
Biar kagak dihukum, disayang ama guru tau gak. Lebih dari itu, agar kita bisa
memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.” Gilang menyetujui pendapat Wina. Ini
benar-benar menyudutkanku.
“ Ckckckck... Hanya orang-orang yang gak
suka kebebasan yang mau diperintah sama bel. Bagiku bel tak ubahnya malaikat
pencabut nyawa. Setiap kali bangun tidur malaikat pencabut nyawa berdiri persis
di depan mukaku. Seolah dia mengatakan ‘Ben, hidupmu kurang setengah jam lagi
dari sekarang. Aku sudah memberimu kesempatan tapi kau tak menggunakannya.’
“Dan pasti akan ku jawab, ‘Wahai malaikat
yang budiman, kasihanilah aku yang konyol ini. Berilah kesempatan bagiku
beberapa kali lagi untuk memperbaiki tatanan yang salah dalam hidupku.’
“Malaikat akan bertanya heran kepadaku,
‘Kenapa kau tak seperti makhluk lain yang meminta kesempatan hanya sekali untuk
memperbaiki kesalahannya, wahai pemuda.’
“Terus, mau jawab apa kamu, kalau malaikat
tanya begitu?” tanya Wina padaku.
“Karena kemungkinan besok-besok aku akan
melakukan hal yang sama, wahai malaikat.”
“Hahaha. Cukup sudah khayalanmu Ben,”
timpal Wina.
“Ah, kau ini. Seperti tak tahu diriku. Setiap
hari hidupku selalu dalam khayalan.” Kemudian aku berdiri dari tempat dudukku dan
berkata, ”Welcome to Ben’s fantasy world!!! Hahaha.”
“Ya udah kalo gitu chicken wing-nya
buat aku aja. Makan tu chicken wing di dunia khayalan.” Gilang memakan chicken
wing-ku.
Aku kembali duduk di kursiku. Melongo
melihat nasib chicken wing yang sudah raib disambar Gilang.
“Intinya ya Ben,” kata Gilang yang masih
asik makan hartaku. “Kita hidup emang harus ada yang ngatur. Bel juga gak akan
bunyi kalau jamnya mati. Kalau the bell guardian alias pak Bowo juga
udah gak ada di dunia ini. Jangan salahkan bel, makhluk tak bernyawa yang bisa
bikin orang mati mendadak itu. Lagian kalau gak ada bel, kapan kita istirahat,
kapan pula kita mau pulang sekolah. Masa pak Bowo suruh teriak-teriak pake toa
buat ngingetin kita. Hal yang mustahil. Bel donk, yang praktis.”
‘Teng teng teng’ “Tu kan baru diomongin.
Emang panjang umur tu si bel. Hahaha” kata Wina. “ Ya udah yok, masuk kelas,”
ajaknya.
‘Kruyuk kruyuk’ “Eh, Win. Denger suara
perut keroncongan gak sih?” tanya Gilang. “Oh… Mungkin itu hanya di dunia
khayalan” jawabnya.
“Dasar emang kalian berdua. Bodo amat ah.
Bel di perut aku lebih pentimg dari bel SMA ini. Sana kalian masuk duluan.”
“Emang biasanya begitu kan. Ayo Win masuk,”
ajak Gilang ke Wina. Dan seperti biasa pula, waktu itu dan masih sampai
sekarang aku mau masuk kelas tiga SMA, budaya telat dan tak menghiraukan bel,
masih menjadi tradisiku. Bel hanyalah sebuah
ilusi bagiku. Dia hanya khayalan dan akan tampak apabila aku tersadar
dari khayalanku. Bel adalah neraka di pagi hari. Dan bel adalah surga di siang
hari. Jadi, kau tahu kan maksudku?
Dulu waktu masih duduk di bangku smk, Bel sekolah bagaikan suara yang numpang lewat, jadi bel sebenarnya adalah ketika kawan-kawan ngasih tanda bahwa guru bakalan masuk :)) hehehe
BalasHapuskangen juga ama bel sekolah, cz di kampus gak ada bunyi bel... hahaha
BalasHapus