Langsung ke konten utama

ANCAMAN

 
Aku heran dengan kehidupan sekolahku. Sekolahku tak bisa jauh dari benda yang satu ini. Lonceng, bel. Siapa yang sebenarnya menciptakan benda satu ini? Siapa juga yang telah menyelipkan ke dalam sekolah? Sehingga seolah-olah semua kegiatan dan kehidupan sekolah terkontrol dengan bel. Lebih hebat dari remote control. Bel tidak membutuhkan sensor untuk menggerakkan dan memonitor seluruh makhluk yang ada di sekolah. Tinggal bunyikan lonceng, atau pencet tombol pada bel, semua makhluk yang ada di negeri sekolah tunduk dan taat pada bunyi bel. Seolah bel mempunyai energi getar yang begitu kuat, sehingga kita mau saja diperintah oleh bunyi bel.

***
Aku ingat waktu itu, di kantin sekolah. Seperti biasa, aku, Wina, dan Gilang makan bareng saat istirahat pertama. Kita juga suka ngobrolin banyak hal. Mulai dari harga sembako yang mulai naik, pejabat yang korup, buku yang habis kita baca, sampai kehisteriaan kita ada orang Indonesia yang ikut main film Hollywood. Sampai obrolan yang sepele. Kayak kenapa setiap sekolah harus ada tiang benderanya, kenapa foto presiden dan wakilnya harus narsis nampang di depan kelas. Dan seperti obrolan pagi itu, obrolan yang sepele. Bayangkan, sepanjang istirahat kita ngobrolin tentang bel. Apa gitu  istimewanya dari bel?

Dan pembicaraan dimulai ketika aku bilang, ”Gila ya, hidup di sekolah itu bagai robot tahu gak? Hampir 12 tahun sekolah, masa kita diperintah sama bel… terus. Heran, kenapa kita mau-mau aja?” 

“Ok, kita memang bukan makhluk sempurna dan bukan penganut madzhab on time. Jadi bel adalah satu-satunya solusi agar kita dapat melakukan segalanya tepat waktu,” kata Wina.

“Heuh… ngomong apa kamu Win. Gara-gara bel sialan itu, aku jadi harus berangkat pagi-pagi. Telat dikit aja gerbang ditutup. Telat masuk kelas dihukum. Emang bener-bener sialan tu bel,” kataku yang emang gak suka dengan makhluk yang disebut bel.

“Berarti bener apa kata Wina. Bel itu tanda kalau kita emang gak pernah on time. Nyatanya kalau gak ada bel kamu pasti akan telat terus sepanjang karier sekolahmu. Bel itu bagaikan sang dewa dari langit yang membisikkan ke telinga setiap insan untuk melakukan kebaikan. Biar kagak dihukum, disayang ama guru tau gak. Lebih dari itu, agar kita bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.” Gilang menyetujui pendapat Wina. Ini benar-benar menyudutkanku.

“ Ckckckck... Hanya orang-orang yang gak suka kebebasan yang mau diperintah sama bel. Bagiku bel tak ubahnya malaikat pencabut nyawa. Setiap kali bangun tidur malaikat pencabut nyawa berdiri persis di depan mukaku. Seolah dia mengatakan ‘Ben, hidupmu kurang setengah jam lagi dari sekarang. Aku sudah memberimu kesempatan tapi kau tak menggunakannya.’

“Dan pasti akan ku jawab, ‘Wahai malaikat yang budiman, kasihanilah aku yang konyol ini. Berilah kesempatan bagiku beberapa kali lagi untuk memperbaiki tatanan yang salah dalam hidupku.’

“Malaikat akan bertanya heran kepadaku, ‘Kenapa kau tak seperti makhluk lain yang meminta kesempatan hanya sekali untuk memperbaiki kesalahannya, wahai pemuda.’

“Terus, mau jawab apa kamu, kalau malaikat tanya begitu?” tanya Wina padaku.

“Karena kemungkinan besok-besok aku akan melakukan hal yang sama, wahai malaikat.”

“Hahaha. Cukup sudah khayalanmu Ben,” timpal Wina.

“Ah, kau ini. Seperti tak tahu diriku. Setiap hari hidupku selalu dalam khayalan.” Kemudian aku berdiri dari tempat dudukku dan berkata, ”Welcome to Ben’s fantasy world!!! Hahaha.”

“Ya udah kalo gitu chicken wing-nya buat aku aja. Makan tu chicken wing di dunia khayalan.” Gilang memakan chicken wing-ku.

Aku kembali duduk di kursiku. Melongo melihat nasib chicken wing yang sudah raib disambar Gilang.

“Intinya ya Ben,” kata Gilang yang masih asik makan hartaku. “Kita hidup emang harus ada yang ngatur. Bel juga gak akan bunyi kalau jamnya mati. Kalau the bell guardian alias pak Bowo juga udah gak ada di dunia ini. Jangan salahkan bel, makhluk tak bernyawa yang bisa bikin orang mati mendadak itu. Lagian kalau gak ada bel, kapan kita istirahat, kapan pula kita mau pulang sekolah. Masa pak Bowo suruh teriak-teriak pake toa buat ngingetin kita. Hal yang mustahil. Bel donk, yang praktis.”

‘Teng teng teng’ “Tu kan baru diomongin. Emang panjang umur tu si bel. Hahaha” kata Wina. “ Ya udah yok, masuk kelas,” ajaknya.

‘Kruyuk kruyuk’ “Eh, Win. Denger suara perut keroncongan gak sih?” tanya Gilang. “Oh… Mungkin itu hanya di dunia khayalan” jawabnya.

“Dasar emang kalian berdua. Bodo amat ah. Bel di perut aku lebih pentimg dari bel SMA ini. Sana kalian masuk duluan.”

“Emang biasanya begitu kan. Ayo Win masuk,” ajak Gilang ke Wina. Dan seperti biasa pula, waktu itu dan masih sampai sekarang aku mau masuk kelas tiga SMA, budaya telat dan tak menghiraukan bel, masih menjadi tradisiku. Bel hanyalah sebuah  ilusi bagiku. Dia hanya khayalan dan akan tampak apabila aku tersadar dari khayalanku. Bel adalah neraka di pagi hari. Dan bel adalah surga di siang hari. Jadi, kau tahu kan maksudku?


Komentar

  1. Dulu waktu masih duduk di bangku smk, Bel sekolah bagaikan suara yang numpang lewat, jadi bel sebenarnya adalah ketika kawan-kawan ngasih tanda bahwa guru bakalan masuk :)) hehehe

    BalasHapus
  2. kangen juga ama bel sekolah, cz di kampus gak ada bunyi bel... hahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aurora: Gadis Kecil dari Surga

Waktu itu antara bulan Oktober November 2015 (lupa tepatnya kapan), aku diajak temen –mb Ana- nengokin anak temannya yang sedang sakit di RS Dr. Moewardi Solo. Anak yang sakit itu sebut saja namanya Aurora, dia berindikasi memiliki leukimia. Umurnya masih balita, kira-kira tiga tahun. Badannya kurus, karena dia sulit diajak makan. Hari Jum’at itu, yaitu hari di mana kita nengok ke sana dia sedang membutuhkan transfusi darah 5 kantong, dan yang ia butuhkan adalah golongan darah B. Di PMI kebetulan stoknya tidak ada. Sebenarnya golongan darah ayahnya Aurora sama, tetapi karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, ia tidak diperkenankan untuk mendonorkan darahnya. Lalu dengan segala usaha, orangtuanya mencari siapa kira-kira dermawan yang rela mendonorkan darahnya. Ayahnya menghubungi beberapa temennya, yang mungkin bisa membantu anaknya. Mungkin ada 2 atau 3 temannya yang sudah mendonorkan darah ke PMI. Tapi sayang, ketika itu setelah sholat Jum’at ayahnya menanyakan darah yang

Guide Me All The Way

Segala sesuatu yang kita miliki di dunia memang tidak ada yang abadi. Semuanya hanya sementara. " Not to take anything for granted, always try to remember it ." Apa yang kita punya dan kita miliki sekarang this all will be end . Harta, keluarga, and everything . Bekal apa yang akan kita bawa besok  ketika berhadapan dengan-Nya? Tak sepatutnya juga kita doubt His love. Because He never let us go astray. Apa yang akan kita persembahkan untuk-Nya?