AJIP ROSIDI: DARI ANGKLUNG KE SAMURAI
Tak banyak dari kita yang tahu atau bahkan mengenal sosok yang satu ini. Dialah Ajip Rosidi, seorang yang sangat berjasa dalam bidang sastra Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1938 di Jatiwangi Majalengka, Jawa Barat. Banyak penyebutan untuk dirinya, mulai dari sastrawan, penulis, budayawan, dosen, pendiri dan redaktur beberapa penerbit.
Ajip Rosidi mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953), dan terakhir Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956). Meski tidak tamat sekolah menengah, namun dia dipercaya sebagai dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan Jepang.
Awal karier menjadi penulis adalah pada umur 12 tahun, saat masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat, tulisan Ajip, begitu sapaan akrabnya, telah dimuat dalam ruang anak-anak di harian Indonesia Raya. Pada tahun 1952, karya sastranya dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz, sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif. Terbukti dengan 326 judul karya dimuat dalam 22 majalah.
Diantara karya Ajip Rosidi adalah Tahun-Tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955), Perjalanan Penganten (1958), sebuah karya roman yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh H. Chambret (1976), Kroatia (1978), dan Jepang (1991) oleh T. Kasuya. Sajak-Sajak Anak Matahari (1979), yakni kumpulan sajak yang seluruhnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh T. Indoh, dan dimuat dalam majalah Fune dan Shin Nihon Bungaku (1981). Sunda Shigish hi no Yume (1988) adalah buku terjemahan bahasa Jepang dari pilihan keempat kumpulan cerita pendek oleh T. Kasuya. Dan masih ada ratusan karya Ajip lainnya.
Bersama kawan-kawannya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari di Bandung (1962), penerbit Cupumanik (Tjupumanik) di Jatiwangi (1964), Duta Rakyat (1965) di Bandung, Pustaka Jaya (kemudian Dunia Pustaka Jaya) di Jakarta (1971), Girimukti Pasaka di Jakarta (1980), dan Kiblat Buku Utama di Bandung (2000).
Tahun 1967 Ajip diangkat sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung. Ajip juga dikenal sebagai “juru bicara” yang fasih menyampaikan tentang Indonesia kepada dunia luar. Hal ini ia buktikan ketika bulan April 1981 ia dipercaya mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Jepang. Serta memberi kuliah di Kyoto Sangyo Daigaku, Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center. Di Jepang, dia mengajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia, budaya Indonesia, dan Islam di Indonesia.
Sebagai seorang sastrawan, satu hal yang mengesankan bagi Ajip tentang masyarakat Jepang adalah kesadaran mereka akan pentingnya sastra dalam hidup mereka.
Kondisi itu tercipta akibat dukungan kebijakan pemerintah dan budaya yang ada. Jadi, tidak hanya kalangan sastrawan dan budayawan saja yang menikmati sastra, bahkan dokter, arsitektur, membaca sastra. Sampai anak yang masih usia dinipun sudah diperkenalkan dengan sastra (buku-red). Semangat inilah yang seharusnya dicontoh masyarakat Indonesia.
Setelah pensiun, ia menetap di desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti Yayasan Kebudayaan Rancagé dan Pusat Studi Sunda.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ajip_Rosidi
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-ajip-rosidi.html
Ajip Rosidi mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953), dan terakhir Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956). Meski tidak tamat sekolah menengah, namun dia dipercaya sebagai dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan Jepang.
Awal karier menjadi penulis adalah pada umur 12 tahun, saat masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat, tulisan Ajip, begitu sapaan akrabnya, telah dimuat dalam ruang anak-anak di harian Indonesia Raya. Pada tahun 1952, karya sastranya dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz, sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif. Terbukti dengan 326 judul karya dimuat dalam 22 majalah.
Diantara karya Ajip Rosidi adalah Tahun-Tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955), Perjalanan Penganten (1958), sebuah karya roman yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh H. Chambret (1976), Kroatia (1978), dan Jepang (1991) oleh T. Kasuya. Sajak-Sajak Anak Matahari (1979), yakni kumpulan sajak yang seluruhnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh T. Indoh, dan dimuat dalam majalah Fune dan Shin Nihon Bungaku (1981). Sunda Shigish hi no Yume (1988) adalah buku terjemahan bahasa Jepang dari pilihan keempat kumpulan cerita pendek oleh T. Kasuya. Dan masih ada ratusan karya Ajip lainnya.
Bersama kawan-kawannya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari di Bandung (1962), penerbit Cupumanik (Tjupumanik) di Jatiwangi (1964), Duta Rakyat (1965) di Bandung, Pustaka Jaya (kemudian Dunia Pustaka Jaya) di Jakarta (1971), Girimukti Pasaka di Jakarta (1980), dan Kiblat Buku Utama di Bandung (2000).
Tahun 1967 Ajip diangkat sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung. Ajip juga dikenal sebagai “juru bicara” yang fasih menyampaikan tentang Indonesia kepada dunia luar. Hal ini ia buktikan ketika bulan April 1981 ia dipercaya mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Jepang. Serta memberi kuliah di Kyoto Sangyo Daigaku, Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center. Di Jepang, dia mengajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia, budaya Indonesia, dan Islam di Indonesia.
Sebagai seorang sastrawan, satu hal yang mengesankan bagi Ajip tentang masyarakat Jepang adalah kesadaran mereka akan pentingnya sastra dalam hidup mereka.
Kondisi itu tercipta akibat dukungan kebijakan pemerintah dan budaya yang ada. Jadi, tidak hanya kalangan sastrawan dan budayawan saja yang menikmati sastra, bahkan dokter, arsitektur, membaca sastra. Sampai anak yang masih usia dinipun sudah diperkenalkan dengan sastra (buku-red). Semangat inilah yang seharusnya dicontoh masyarakat Indonesia.
Setelah pensiun, ia menetap di desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti Yayasan Kebudayaan Rancagé dan Pusat Studi Sunda.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ajip_Rosidi
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-ajip-rosidi.html
Komentar
Posting Komentar